Melewati Perkampungan Bebas Asap Rokok, Kutapaki Atap Sulawesi, Terimakasih TWKM 28 Sulsel.!

Bermodalkan semangat, fisik, dan mental serta logistik seadanya tak membuat saya patah semangat untuk kembali menapaki perjalanan menuju ke triangulasi Puncak Rantemario, Pegunungan Latimojong, Sulawesi  Selatan.


Hampir dua bulan mempersiapkan fisik itu lebih dari cukup. Apalagi mendengar cerita-ceritanya dari beberapa senior Mapala UMI, semakin membuatku bersemangat untuk bisa sampai di atap Pulau Sulawesi itu.
Satu yang ku pahami mendaki Puncak Rantemario via Desa Bone-bone, Kabupaten Enrekang, jalurnya memang pendek tapi medan yang kami lalui berupa punggungan terjal. Ditambah lagi persediaan air yang begitu minim.

Desa Bone-bone yang dikenal dengan perkampungan bebas asap rokok pertama di Indonesia dan telah banyak menerima penghargaan dari pemerintah pusat. Jadi bagi pendaki cowok disarankan untuk tidak merokok di Desa ini. Jika kedapatan membawa rokok, apalagi merokok, maka bersiap-siaplah mendapat sanksi adat.



Bagi saya mungkin hal wajar karena saya memang bukan perokok. Lalu, bagaimana dengan mereka yang memang perokok aktif. Menahan cuaca dingin, dengan tidak merokok mungkin suatu hal yang susah bagi kaum adam.

Tapi, sebagai pendatang, kami harus tetap menghargai peraturan Desa tersebut. Sanksi yang diberikan oleh Kepala Desa setempat, tidak tanggung-tanggung. Yaitu tinggal di dusun tersebut selama seminggu mengabdi, dalam artian harus membantu mereka bekerja.


Sore itu, suasana kabut di Desa Bone-bone seakan menjadi tanda jikalau warga setempat sangat besahabat dan menerima dengan baik kedatangan saya dan teman-teman peserta Kenal Medan divisi  Gunung Hutan TWKM 28.

Setelah istirahat selama 1 jam di perkampungan ini, saya mulai melanjutkan perjalanan. Begitupun dengan panitia dan peserta. Kami memulai perjalanan secara tertib.

Mengawali pendakian via Desa Bone-bone adalah pengalaman yang pertama kali buatku. Selama ini, saya melakukan pendakian ke Puncak Rantemario kerap mengambil jalur dari Desa Karangan.






Hawa dingin mulai menusuk hingga ke tulang. Awan gelap bertanda hujan akan turun. Saya mulai mempercepat langkah kaki, begitupun dengan mereka para panitia dan peserta sesama mahasiswa pencinta alam.

Meskipun terkadang saya mendengar, mereka teriak "Mantul jalurnya panitia" saya pribadi hanya bisa tersenyum.

Sampai di dusun Pendokesan, saya dan beberapa panitia cewek. Sebut saja, Kak Fitri atau biasa disapa Kak Cuicui, dari angkatan Gema Semesta, dan kak Tambora disapa kak Nur dari angkatan Tebing Langit, dan saudara seangkatan saya yaitu Syifa segera mendirikan tenda untuk tempat kami beristirahat.





Esok harinya, setelah sarapan, saya kembali mengepack peralatan pribadi. Ganti baju dan memakai sepatu, begitupun dengan yang lainnya. Saya yang sudah siap untuk melanjutkan perjalanan, sesekali mengambil gambar sebagai dokumentasi pribadi saya.

Bagaimana kabar peserta dan panitia yang dari kemarin sore tidak merokok? Sesekali saya mendengar mereka, "Wuuii, ada asap ini. merokok deh, nda kentaraji mungkin." atau "Panitia, bisami merokok?"

Saya dan panitia yang lainnya harus kembali menjelaskan peraturan di dusun Pendokesan yang wilayahnya masih berada di desa Bone-bone. Dan, Alhamdulillah mereka masih bisa mengerti.

Saya dan peserta Gunung Hutan TWKM 28 start dari Dusun Pendokesan, Camp 1 pada pukul 08.45 Wita pagi, Rabu 19 Oktober 2016. Melanjutkan perjalanan. Berbekal air yang cukup, saya mulai berjalan bersama peserta yang lainnya.


Melewati punggungan, melewati tanjakan yang licin membuat saya semakin semangat. Kurang lebih dua jam kami melaluinya. Tidak ada yang lain di pikiranku, hanya satu.

"Bagaimana medannya, persediaan air kami cukup tidak. Dan, bisakah saya sampai puncak?,"

Tapi, keyakinan dan kemauan yang selalu menjadi semangat saya. Segala sesuatu jika dijalani dan diperjuangkan dengan sungguh-sungguh akan membuahkan hasil yang maksimal pula.

Dingin mulai menemani langkahku, mendaki Puncak Rantemario. Langit pun seperti tak mau kalah, gelap dan gerimis. Berjalan melewati punggungan, naik turun puncak sesekali membuatku lelah dan ingin istirahat. Setidaknya membuat minuman hangat.



Hmmm.. jika membayangkannya, inginku segera sampai ke puncak bersama mereka. Menikmati suasana puncak, berfoto bersama dengan mereka yang ku anggap saudara.
Tapi lagi-lagi kami harus tetap berjalan, untuk sampai ke puncaknya. Setidaknya saya harus tiba di camp bersama panitia lainnya dan peserta sebelum larut malam.

Meskipun lelah, Alhamdulillah tiba di camp juga. Kembali ganti pakaian lapangan dan istirahat. Cuman itu yang ada d pikiran saya. Memikirkan makan pun, tak ada.
Kembali berjalan dengan keadaan tubuh yang sehat adalah keinginan saya yang paling utama.

Mengabadikan setiap moment, berfoto dengan mereka adalah suatu hiburan selama pendakian. Minum kopi dan duduk di depan api unggun, sungguh sangat mengasyikan.
"Adakah?" kata-kata itulah selalu menjadi awal perbincangan, entah maksudnya apa. Saya hanya bisa ketawa.




Kembali berjalan keesokan harinya, membuat saya sendiri selalu berpikir "kapan sampainya? berapa jam lagi harus berjalan? ada berapa puncak lagi yang harus didaki?"
Tapi saya pribadi selalu di ajarkan, tidak ada yang mustahil selama ada usaha.

Berjalan bersama peserta, sesekali terdengar dan bertanya "Mbak, ini masih jauh? jangan PHP dong mbak."

Saya pribadi merasa tidak enak, saya sendiri merasakan bagaimana tidak enaknya di PHP-in.

"Dekatmi mbak, semangat saja nah!! setelah puncak ini, terlihat mih itu triangulasi," jawabku kala itu.


Saya kembali berjalan, berharap setelah puncak ini triangulasi akan terlihat. Dan memang, benar! Salah seorang saudara seangkatan ku di Mapala UMI, sebut saja Elang. Ia teriak dari kejahuan.

"Tinggal lima langkah lagi sodara, apaji!! Anggun bede'..," kata-kata itu selalu menjadi motifasi saya.

Memaksakan kaki berjalan, tidak membuatnya manja, melawan malas, itu salah satu motivasi saya. Pengalama ini, saya dapatkan semuanya saat mengikuti masa pendidikan dasar (Mapraba).

Ku lihat dari jauh. Mereka yang lebih dulu tiba di Puncak Rantemario, sedang sibuk mengabadikan momen menggunakan camera. Ada yang mengenakan toga.







Mereka tak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur akan ke indahan yang diberikan sang Maha Pencipta.

Setelah selama 4 hari 3 malam terhitung mulai dari Desa Bone-Bone hingga Desa Karangan, akhirnya sampai juga d Puncak Rantemario.


"Puncak Rantemario via BONE-BONE?? bisa tong jka pale sampe. Hehehehe" kata dalam hatiku.

Bersyukur ? iya, bersyukur sekali.

Lelah ? iya, sangat lelah.

Puas ? sangat puas.
Terimakasih TWKM 28 Makassar, Sulawesi Selatan &#128536.

Oleh : Sri Rahayu Wardani, Angkatan Muda

1 komentar: